Pandemi Covid-19, membuat puluhan juta anak di Indonesia terpaksa harus bersekolah dari rumah dengan sistem daring (dalam jaringan). Peralatan seperti handphone merupakan barang wajib agar bisa mengikuti pelajaran daring dengan baik. Sayang, hal itu tidak terjadi pada Rafika. Jangankan memiliki handphone, melihat barang mewah menurut keluarga ini saja semenjak belajar daring dilakukan.
“Ayahnya dulu sempat punya handphone, tapi rusak. Wajarlah, handphone jadul. Habis itu, buat beli pulsa gak bisa, mending buat makan,” ungkap sang ibu Rosiana.
Setelah belajar membaca yang dibimbing sang ibu, Rafika beranjak dari duduknya kemudian mengambil tas punggung kesayangannya bergambar putri salju pemberian sang ayah sebagai kado saat Rafika berusia 5 tahun. Rafika kemudian bergegas ke rumah temannya bernama Pipit.
Waktu baru menunjukkan pukul 06.50 WIB, usai berpamitan dengan sang ibu, kaki mungil Rafika berjalan menyusuri jalanan berdebu menuju rumah Pipit sahabatnya yang berjarak sekitar 500 meter. Sekitar pukul 07.00 WIB dia sampai ke rumah Pipit, dan biasanya dia baru kembali pulang ke rumah pukul 09.30 WIB. Ada rasa sedih di dalam dada sang ibu ketika melepas buah hatinya untuk belajar ke rumah tetangga.
“Aku tidak apa-apa harus jalan kaki ke rumah Pipit, yang penting aku bisa mengikuti pembelajaran secara online,“ ungkap Rafika.
Hidup dalam keterbatasan serta tidak mempunyai handphone, tidak menyurutkan semangat Rafika. Dia tetap berusaha dan bersemangat agar tidak ketinggalan sedikit pun kegiatan pembelajaran daring. Keterbatasan ekonomi ditambah harga handphone yang selangit membuat orang tua Rafika tidak bisa membelikan handphone bagi Rafika. Harapan bisa mengikuti pembelajaran secara daring dari rumah sendiri seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya menjadi pupus.
Di rumah sahabatnya Pipit, Rafika tak mau menyia-nyiakan waktu, dia langsung mengeluarkan buku dan peralatan tulis dari tasnya. Sembari menunggu sahabatnya Pipit selesai belajar daring, Rafika mengulang kembali pelajaran membaca yang didapatinya di rumah. Pipit selesai belajar daring, kini giliran Rafika memakai handphone milik ayah Pipit untuk belajar online yang dibimbing sang guru dari jauh. Suatu ketika, Rafika tidak datang ke rumah Pipit untuk mengerjakan tugas dikarenakan beberapa halangan. Padahal orang tua Pipit dan orang tua Rafika sudah saling mengenal, mereka juga memiliki hubungan pertemanan, sehingga orang tua Pipit tidak merasa keberatan jika Rafika datang ke rumah Pipit setiap hari untuk belajar bersama. Terkadang ada perasaan malu dari orang tua Rafika, ketika melihat anaknya yang sering menumpang belajar di rumah Pipit. Namun, apa mau dikata, keterbatasan yang ada tidak mampu bagi orang tuanya berbuat banyak.
“Anaknya rajin dan sopan. Dulu pernah gak datang kesini, saya tanya ke ibunya. Katanya malu sering numpang belajar kesini. Saya bilang, gak apa-apa, saya senang, anak saya Pipit ada teman,” ungkap orang tua Pipit.
Rafika kini duduk di kelas 1 SDN 2 Merawang. Dirinya melakoni pergi-pulang ke rumah Pipit nyaris setiap hari, tak ada keluh kesah keluar dari mulut Rafika. Rafika dan orangtuanya tinggal di sebuah rumah kecil yang terletak di jalan Jering, Desa Baturusa, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kondisi rumah keluarga Rafika sangat sederhana dan terbilang kurang layak untuk ditinggali. Mereka bertiga harus tinggal di rumah berukuran 6×6 meter dengan lantai dapur yang masih beralaskan tanah, serta jendela yang hanya ditutupi oleh tirai kain. Mirisnya, rumah yang menjadi tempat berteduh dan tempat Rafika menghabiskan masa kecilnya ini tidak mempunyai WC serta jamban.
Keluarga Rafika sering kesusahan ketika ingin buang air besar apalagi disaat malam hari atau tengah malam. Ditambah pasokan air bersih ke rumah mereka tidak lancar, hanya mengharapkan dari kebaikan para tetangga yang iba dan mau memberikan air bersih. Itupun hanya cukup dipakai untuk keperluan memasak. Tak jarang, keluarga kecil ini terpaksa harus mandi di kebun tempat sang ayah bekerja mengambil upah sebagai buruh tani.
Selain belajar secara daring (dalam jaringan), guru Rafika juga memberikan tugas melalui buku (luar jaringan), sehingga Rafika harus datang ke sekolah untuk mengambil tugas tersebut agar bisa dikerjakan. Rafika tidak sendiri, dia diantar oleh bapaknya ke sekolah menggunakan sepeda motor tua. Sesekali sang ibu mengantarkan Rafika ke sekolah dengan berjalan kaki, karena motor dipakai sang ayah mencari kepiting atau saat motor tiba-tiba mogok. Ibu dan anak ini harus menempuh jalan sekitar satu kilometer ke sekolah dari rumah. Rafika bersama ibu sangat menikmati perjalanan ke sekolah, terkadang juga dia merasa lelah karena harus berjalan kaki cukup jauh. Sang ibu biasanya menggendong puteri kesayangannya itu, untuk sekedar menghibur dan memberi semangat.
Di sela-sela kegiatannya belajar online, pada siang hari Rafika biasanya pergi ke kebun bersama orang tuanya. Di kebun, dia membantu ibunya mencabut rumput, kadang juga bermain-main di areal kebun yang sudah menjadi mata pencaharian satu-satunya bagi orang tua Rafika. Kebun itu memang bukan milik orang tua Rafika, mereka hanya menjadi buruh upah merawat tanaman kebun seperti keladi, kencur dan pepaya. Dia dan orang tuanya baru kembali pulang ke rumah ketika matahari hampir terbenam. Sebelumnya, Rafika biasanya sudah mandi di sumur kebun yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman.
Selepas maghrib, Rafika menyempatkan diri untuk berlatih membaca dan menulis, diajari oleh ibunya. Dia sudah mulai bisa membaca huruf sedikit demi sedikit secara perlahan. Rafika sangat suka sekali dengan pelajaran muatan lokal.
“Aku suka Mulok, karena menggambar macma-macam. Menggambar itu menyenangkan dan mudah. Pelajaran yang aku gak begitu suka Matematika,” seloroh Rafika.
Bagi Rafika, pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk dia bisa menggapai cita-cita sebagai seorang dokter. Orang tua Rafika selalu menanamkan sikap disiplin dan semangat kepada anaknya tersebut.
“Kamu harus rajin belajar, agar kelak kamu bisa menaikkan derajat orang tuamu ini,“ pesan ibu Rafika kepada anaknya itu.
Orang tua Rafika menuturkan, bahwa penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Penghasilan ayah Rafika tidak menentu, kadang bisa sekitar 40 ribu, kadang 50 ribu perhari, kadang juga tidak satu persen pun. Kadang sedih melihat anak kami ini harus menumpang belajar online. Tapi mau gimana lagi, kami tidak mampu membeli handphone,” ungkap sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
Rafika dan keluarganya memang hidup dalam kondisi serba kekurangan. Namun, orang tuanya selalu mengajarkan kepada anaknya untuk selalu bersyukur dengan apa yang mereka miliki dan mereka dapatkan. Walau mungkin terkadang mereka pernah merasa sedih atau lelah dengan kondisi yang mereka alami saat ini. Orang tua Rafika mempunyai harapan agar kondisi ekonomi mereka dapat lebih baik lagi dikemudian hari, sehingga mereka bisa membeli handphone untuk Rafika, dan juga berharap pandemi Covid-19 ini cepat berlalu, agar Rafika bisa kembali bersekolah. (Marini Tri Adisti)
tulisannya keren.. selamat ya..